MANDALIKANEWS.ID | PADANG PANJANG — Ada Tujuh Resolusi IMLF (International Minangkabau Literacy Ferstival) yang dihasilkan setelah digelarnya tiga seminar paralel, temu penulis delegasi peserta dari 10 negara (termasuk Indonesia), seminar literasi anak usia dini, dan workshop penulisan. DPD Satupena Sumatera Barat selaku penyelenggara dan didukung sejumlah pihak berharap ada resolusi yang bisa jadi kebijakan pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi Sumatera Barat ke depan.
Demikian dikatakan Ketua DPD Satupena Sumatera Barat, Sastri Bakry, ketika bertemu Sekretaris Daerah Kota Padangpanjang, Sonny Budaya Putra, di ruang kerjanya, Senin (6/3/2023). “Dari Tujuh Resolusi IMLF, ada 13 poin penting yang bisa diimplementasikan kabupaten/kota di Sumatera Barat,” tandas Sastri, yang didampingi Wakil Ketua DPD satupena Sumatera Barat, Yurnaldi, dan panitia IMLF yang terlibat antara lain Wakil Sekretaris Nenri Gusni, Rina Hastuti, dan Uncu.
IMLF yang berlangsung dari tanggal 22 Februari sampai tanggal 27 Februari dengan sejumlah kegiatan yang diawali dengan penyambutan tamu delegasi oleh Gubernur Sumbar di Istana Gubernur, kemudian dilanjutkan penyambutan oleh Walikota Padangpanjang, 23 Februari dan kunjungan ke Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau, dilanjutkan ke Museum Rumah Kelahiran dan Perpustakaan Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi, dan seterusnya di lokasi pemusatan acara di Pusat Pengembangan SDM Kemendagri di Baso, Kabupaten Agam.
Sastri menjelaskan, salah satu resolusi, misalnya tentang filosofi budaya literasi Minangkabau, di mana alam takambang jadi guru, yang menjadi esensial kecakapan literasi untuk mampu memahami teks-teks nan tasurek (kecakapan semantik/pareso/rasional/intellectual quoetient), nan tasurek (kecakapan simbolik atau semiotik/raso/emotional quotient), dan nan tasuruak atau nan tasyarak (kecakapan spiritual/spiritual quotient), namun telah semakin surut. Padahal, literasi budaya Minangkabau yang dilandasi oleh filosofi di atas relatif universal dan relevan secara historis-kontekstual, baik dalam dimensi sastra dan seni, maupun diplomasi, politik, birokrasi, adaptasi dan relasi multikultural.
“Oleh sebab itu pelu sinergitas kolaborasi semua pemangku kepentingan untuk melakukan gerakan revitalisasi melalui penguatan literasi budaya luhur tersebut,” jelas Sastri. “Jadi, kami mengimbau gubernur/bupati/wali kota melalui OPD terkait mengembalikan nama-nama daerah, nagari, tempat, dan lainnya ke bentuk asli sehingga makna historis, filosofis, dan kultural sosilogisnya tidak rancu dan kemudian punah.”
Begitu juga tentang bahasa Minangkabau, penting dan perlunya direvitalisasi dengan langkah-langkah rekonstruksi, refungsionalisasi, dan re-edukasi dalam segala bidang, dimensi, sektor kehidupan masyarakat sebagai media utama literasi lokal Minangkabau. Bahasa Minangkabau perlu jadi salah satu materi ajar dalam muatan lokal di tingkat pendidikan dasar, kemudian ada satu hari dalam sepekan berbahasa Minangkabau di lingkungan pemerintahan dan sekolah, perguruan tinggi. Menggunakan bahasa pengantar bahasa Minangkabau dan percakapan dengan siapa pun dalam bahasa Minang.
“Gubernur/bupati/walikota diharapkan menginstruksikan UPT/OPD dan instansi swasta melakukan gerakan bersama satu hari berbahasa Minangkabau dalam sepekan dan penggunaan bahasa Minangkabau dalam komunikasi informal di kantor, di rumah, dan di tempat umum,” jelas Sastri yang juga Widyasawara di PPSDM Kemendagri.
Yurnaldi menambahkan, karena Kota Padangpanjang adalah Kota Literasi, maka salah satu masukan berharga dari para penulis adalah untuk memperkenalkan potensi pariwisata melalui karya sastra puisi, baik kuliner, pesona seni budaya, maupun keindahan alamnya.
“Kota Padangpanjang bisa memulai untuk gagasan yang rancak ini, mempromosikan Kota Padangpanjang dan potensi wisatanya melalui puisi. Ini bisa menjadi contoh untuk gerakan literasi bagi daerah lain di Sumatera Barat,” kata Yurnaldi, yang juga tokoh penerima Literacy Award Provinsi Sumatera Barat, 2018.
Sastri jujur menyampaikan bahwa sekitar 200 delegasi peserta menyatakan senang dengan penyambutan dan pelayanan Pemerintah Kota Padangpanjang. “Jamuan makan sate, benar-benar dinikmati sensasi enaknya oleh semua tamu dan terkesan sekali. Kecuali tamu dari India, tak bisa merasakan karena mereka anti makan daging sapi, karena sapi baginya adalah hewan suci dalam kepercayaannya,” jelasnya.
Sonny Budaya Putra mewakili Waikota Padangpanjang mengatakan, turut bangga dengan sukses penyelenggaraan IMLF dan respon dari delegasi dari 10 negara dengan penyambutan resmi oleh Pemerintah Kota Padangpanjang. “Kalau ada salah dan janggal, kami minta maaf. Namun, dengan suksesnya IMLF yang melahirkan Tujuh Resolusi IMLF, ini sebuah kerja yang luar biasa,” katanya.
Sonny menjelaskan, Kota Padangpanjang adalah Kota Literasi Nasional yang tentu sangat mendukung resolusi yang dihasilkan dari Internasional Minangkabau Literacy Festival. “Kota Padangpanjang sendiri sudah rutin menggelar Pertemuan Sastrawan ASEAN, juga untuk mendukung literasi tak hanya untuk Kota Padangpanjang, Sumatera Barat, tetapi juga untuk mengharumkan Indonesia dalam literasi sastra di tingkat ASEAN. “Kita bangga menggelarnya tiap tahun, kecuali saat pandemi Covid-19). Untuk itu, kita anggarkan melalui APBD dengan anggaran sekira Rp400 juta,” paparnya.
IMLF saja yang tak ada anggaran APBD bisa sukses penyelenggaraan. Itu pasti karena panitia luar biasa dan bisa berkolaborasi, termasuk dengan Pemko Padangpanjang. “Namun, jika ada pelayanan yang belum sebagaimana mestinya, (kami mohon maaf,” tandas Sonny, yang didampingi Asiten III Martoni.
Sebagai ungkapan terimakasih, Ketua DPD Satu Pena Sumatera Barat Sastri Bakri menyerahkan Tujuh Resolusi dan plakat IMLF, serta pengalungan selendang IMLF. (nal)