MANDALIKANEWS.ID | JAKARTA — Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI menggelar rapat kerja untuk menemukan solusi terkait permasalahan perizinan dan pengembangan usaha yang dihadapi daerah pasca berlakunya UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Berlakunya UU Cipta Kerja tersebut membuat kewenangan daerah menjadi ditarik ke pusat, terutama terkait perizinan dalam hal pertambangan dan pengawasannya.
“Kami ingin mendapatkan informasi dan juga hal-hal yang bersifat penting dan strategis untuk bisa membantu kami sebagai lembaga yang menjadi jembatan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga hubungan legislasi antara pusat dengan daerah ada chemistry-nya dan regulasi yang banyak diterbitkan tidak mempersulit pekerjaan-pekerjaan di daerah,” jelas Wakil Ketua BULD DPD RI Alirman Sori dalam Rapat Kerja dengan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana dan Direktur Deregulasi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BPKM Dendy Apriandi, di Ruang Sriwijaya DPD RI, Rabu (22/11/2023).
Alirman Sori menjelaskan, pasca diundangkannya UU Cipta Kerja dan UU No. 3/2020 tentang Minerba, memunculkan masalah tersendiri di daerah. Hal ini disebabkan karena kewenangan pemberian izin berada di tingkat pusat, tetapi lokasi terdapat di daerah, dan pendelegasiannya juga diberikan ke daerah. Hal tersebut menimbulkan adanya permasalahan dalam hal pengawasan yang dibebankan ke pemerintah daerah di tingkat kabupaten ataupun kota.
“Untuk memberikan kepastian hukum dan aspek pengawasan, apa langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah pusat sehingga aspek pengawasan bisa menjamin terjadinya pengawasan yang kondisi yang sesungguhnya. Karena yang dicari-cari ketika ada risiko itu orang daerah, bupati dan walikota, sementara kewenangan itu ada di provinsi,” imbuhnya.
Senada, Senator DPD RI dari Kalimantan Utara Marthin Billa berharap terdapat mekanisme pengawasan terkait kebijakan yang melibatkan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Karena hasil dari kunjungan kerja yang dilakukan BULD, masih banyak pemerintah daerah yang mengeluhkan terkait mekanisme pengawasan usaha pertambangan yang terdapat di daerah.
“Bagaimana tugas BULD ini merupakan harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan pusat, sehingga antara daerah dengan pusat dapat berjalan dengan baik. Karena ini sangat penting dan saya lihat ini pengawasannya sangat sulit,” ucap Marthin.
Dalam kesempatan yang sama, Senator dari Bangka Belitung Alexander Fransiscus juga mengeluhkan terkait belum jelasnya proses perizinan pertambangan. Karena di provinsinya, banyak masyarakat yang mengeluhkan sulitnya memperoleh izin usaha tambang, sehingga mereka terpaksa melakukan penambangan tanpa izin.
“Masalah Wilayah Penambangan Rakyat (WPR), sejauh mana dari Kementerian ESDM mengeluarkan izin ini ke masyarakat. Karena masyarakat kita masih melakukan penambangan kucing-kucingan, dikarenakan mereka masih banyak yang belum mengantongi izin, sehingga banyak aparat penegak hukum yang mengejar, kasihan mereka. Saya rasa perlu Kementerian ESDM membantu masyarakat Bangka Belitung tentang perizinan,” jelasnya.
Terkait pengawasan usaha tambang di daerah, Dadan Kusdiana pun mengakui terdapat permasalahan di beberapa daerah. Namun dia mengatakan bahwa pemerintah telah menyusun Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK), petunjuk teknis, dan koridor sebagai acuan dalam melaksanakan proses pengawasan untuk mewujudkan good mining practice bagi seluruh pemerintah daerah. Hasil pengawasan tersebut selanjutnya dilaporkan ke Kementerian ESDM dan Kementerian Dalam Negeri.
“Kami juga ada inspektur tambang di daerah dengan total 700 orang. Tetapi kita sama-sama memastikan agar proses ini dilakukan. Kami tidak bisa mengawal yang memang ini menjadi tugas, fungsi dan kewenangan yang ada di daerah,” ucap Dadan.
Selain terkait pertambangan, dalam rapat tersebut juga dibahas mengenai upaya pemulihan sektor UMKM pasca terdampak pandemi Covid-19. Wakil Ketua BULD DPD RI Eni Sumarni mengatakan bahwa banyak pelaku UMKM di daerah yang menghadapi permasalahan terkait regulasi dan pembiayaan. Banyak UMKM yang kesulitan memperoleh suntikan modal akibat belum mekanisme yang dianggap menyulitkan pelaku UMKM.
“UMKM ada beberapa kendala di lapangan terkait investasi, terutama di regulasinya. Karena ada aturan OJK, mereka tidak bisa mendapatkan lagi dana pinjaman yang menyangkut di OJK. Permintaan para UMKM pada umumnya OJK minta didispensasi khusus masa pandemi, sehingga para UMKM bisa bangkit mendapat dana pinjaman dari kreditur yang ditunjuk oleh pemerintah,” kata Eni.
Terkait UMKM, Deden menjelaskan bahwa pemerintah telah mengeluarkan Inline Single Submission (OSS) atau Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik sebagai upaya dalam menciptakan kemudahan berusaha dan meningkatkan iklim investasi.
“Kalau berbicara UMKM, ini menjadi perhatian besar bagi pemerintah dengan keluarnya beberapa peraturan pelaksana dan UU Cipta Kerja. Semoga nanti tatanan implementasinya bisa kita kawal, sehingga kemudahan betul-betul dirasakan oleh masyarakat, khususnya UMKM,” ucap Deden. (Hms)