MANDALIKANEWS.ID | JAKARTA — Kebijakan untuk menjaga stabilisasi harga pangan menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) harus segera diambil guna mengantisipasi minusnya neraca produksi konsumsi yang dialami oleh sebagian besar wilayah pertanian di Indonesia. Hal itu diungkapkan oleh Ketua Komite II DPDRI Yorrys Raweyai dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI).
"Ketersediaan cadangan pangan merupakan faktor kunci menjaga kestabilan pasokan dan harga pangan. Namun menurunnya produksi tanaman pangan mengakibatkan harga pangan melambung tinggi, seperti beras, bawang merah, cabai merah, cabai rawit, dan telur ayam," sambung Yorrys di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pertanian Republik Indonesia, Andi Amran Sulaiman menjelaskan, secara nasional ketersediaan 12 pangan pokok periode Januari –Desember 2023 termasuk dalam menghadapi Nataru masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Walaupun demikian masih ada beberapa komoditas pangan yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga masih perlu diimpor.
"Beberapa komoditi yang masih perlu diimpor meliputi, beras, kedelai, bawang putih, daging sapi/kerbau, dan gula. Untuk beras produksi beras dari dalam negeri mencukupi, yaitu sebesar 30,8 juta ton, sedangkan total kebutuhan sebesar 30,6 juta ton, namun demikian perlu dilakukan impor untuk memperkuat cadangan beras pemerintah," pungkasnya.
Dirinya menambahkan, Kementerian Pertanian memiliki langkah untuk menekan penurunan produksi akibat mundurnya musim tanam karena kemarau panjang yang melanda tanah air dan peristiwa El Nino yang telah mengakibatkan lebih dari 735 juta penduduk dunia terdampak kelaparan, yaitu dengan melakukan tanam cepat.
"Kementrian pertanian memastikan daerah-daerah irigasi yang dapat ditanami untuk segera ditanami. Ada sekitar 1-1,5 juta hektar yang diupayakan untuk dilakukan tanam culik atau dalam istilah pertanian artinya proses tanam segera setelah selesai panen," ujar Andi Amran yang kembali menjabat sebagai Menteri Pertanian sejak dilantik pada 25 Oktober lalu.
Sementara itu, Richard Hamonangan Pasaribu mengatakan skema pengolahan pertanian saat ini belum sebanding dengan potensi pangan Indonesia yang sangat tinggi.
"Dari segi ketersediaan lahan maupun kesuburan tanah, negara kita memiliki potensi penghasil produk pangan yang sangat tinggi asal dikelola dengan maksimal. Misalnya untuk pupuk, pertanian kita sangat bergantung dengan ketersediaan pupuk kimia yang seringkali langka dan mahal padahal kita memiliki alternatif untuk mengelola pupuk alami yang bahan bakunya melimpah di tanah air," tutur Senator Daerah Pemilihan (Dapil) Kepulauan Riau ini.
Senada dengan Richard, Christiandy Sanjaya juga menyayangkan pengelolaan lahan yang hanya berfokus pada pengelolaan lahan pertanian existing bukan justru membuka lumbung pangan nasional di daerah lain.
"Sebaiknya dibuat kebijakan jangka panjang agar pengelolaan pertanian diperluas, jangan hanya bergantung dari pasokan hasil dari lumbung di Jawa saja. Masih banyak lahan-lahan di luar Pulau Jawa yang jika dikelola dengan maksimal dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat tanpa harus terus melakukan impor," kata Anggota DPD RI asal Kalimantan Barat itu.
Menutup rapat tersebut, Aji Mirni Mawarni berharap berharap ada evaluasi sistem infrastruktur pengelolaan pertanian agar produksi pertanian dapat mencukupi kebutuhan penduduk.
"Kementerian Pertanian harus bersinergi dengan instansi pemerintah terkait dalam hal ini Kementerian ATR/BPN dan Kementerian PUPR agar tidak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman dan industri. Karena apabila lahan pertanian dapat diperluas dan ditanami maksimal serta produksi tani meningkat, masyarakat tidak perlu khawatir atas ketersediaan pasokan pangan terutama di hari raya dan tahun baru seperti sekarang," tutup Wakil Ketua Komite II ini.(hms)