Alwi...
Cukup....
Tiba tiba tuhan menghentikan langkahmu.
Angin pun tak lagi bersuara, pasir membeku, awanpun mendung.
Empat belas juni dua puluh empat, engkau harus pulang, disaat kami masih bermain main, bersenda gurau yang melalikan.
Kini engkau sudah di seberang.
Di dunia lain yang kami tak tau di mana itu.
Tapi semua tawa kita, kata kata dan keluh kesahmu tak lagi akan terdengar memenuhi majelis kita.
Senyummu. Tawamu. Atau candamu, hanya akan menjadi bayangan tak berwujud.Tapi, selalu hinggap dalam memori dan hati.
Goresan goresan penamu berpuluh puluhan tahun lamanya, adalah literasi dan aksara yang kaya makna, mungkin akan kami pungut kembali dari serpihan serpihan kertas tebal dalam tumpukan beribu naskah lainnya.
Engkau memang seniman "sebenarnya".
Seniman yang tak pernah berhenti bermimpi menghias nurani, mencerahkan jiwa jiwa kami yang kadang sepi.
Alwi.... sampai di sini kita harus berpisah sementara.
Maut menjemput engkau lebih dulu dari aku dan dari kami yang masih tersisa, meskpun kita lama bersama.
Tapi kita pasti akan berkumpul kembali di dunia lain, tanpa puisi, tanpa prosa dan tanpa karya sastra lainnya yang menyatukan kita selama ini.
Alwi....dulu lah berangkat, karena keretamu sudah penuh dan kami masih menunggu kereta lain pada stasiun berikutnya.
Aku tak mungkin menunggu kabar darimu.
Perundingan kita sudah selesai.
Engkau menjalani peruntunganmu pada gelombang yang berbeda dari kami yang masih mengais ngais kehidupan dalam takdir yang tak kami ketahui.
Kami hanya melepas engkau dengan doa, moga nasibmu di alam berikutnya, lebih baik dan lebih cerah.
Tapi semua yang engkau tinggalkan, akan selalu jadi kenangan menjalang kami menyusul pula.
Selamat jalan Alwi.
Tangisku tak meneteskan air mata, tapi meluluhkan jiwa.
Jakarta, 14 Juni 2924
Gamawan Fauzi.