catatan "Idul Adha: Pinto Janir
Pengorbanan berketulusan atas nama dan atas keyakinan padaNya, maqomnya tinggi dan mulia. Ia menjadi istana terindah di kerajaanNya.
Dunia adalah gelanggang menguji ketahanan untuk mendapatkan ridhoNya. Genggamlah ia seperti menggenggam genggam bara. Jangan seperti menggenggam cinta. Terbakar kau nanti.
Dunia dan berdunia, tak usah seperti mengejar cinta.
Jangan!
Terhempas kau nanti dengan luka luka berkelasa di kamar kehidupan paling nista.
Sekencang apapun berlari mengejar dunia. Sekuat apapun mencarinya. Niscaya, ia tak akan pernah sampai sampai.
Ia tidak akan pernah selesai. Ia tak akan pernah bertemu. Yang akan ada adalah " rasa ketidakcukupan" yang membuat kita gelisah di tiap detik dan ruang waktu.
Yang "ada" itu barangkali adalah mungkin saja ketika kita merasa tidak ada. Yang "tidak ada" itu , mungkin pula ketika kita merasa benar benar ada.
Terkadang, pada hidup berdunia, kita sering merasa diperlakukan tidak adil. Kemudian, mulai bertanya, Tuhan di mana?
Kalau kita berjalan hingga mencapai induk sunyi di lorong penghabisan kehidupan ini, ternyata baru kita sadar. Bahwa, rupanya dunia adalah persinggahan yang amat sebentar.
Kita hanya sepantun membuat istana pasir di pantai perak. Disapu ombak, ia rarak...!
Berderai derai...
Dunia namanya. Ia makin tua, makin jelita. Kian menggoda.
Derita, kita anggap taman bunga.
Cobaan dariNya, kita anggap siksa. Ujian, kita anggap penjara. Sementara "hukuman" dariNya mengapa tak bikin jera?
Bahkan dalam luka berkelasa sekalipun, ia masih larut berdansa dan berpesta dalam gempita gendang dunia yang bikin mabuk.
Ia merasa berlebih dan mencibir pada orang " kurang". Ia merasa lebih tinggi dan memijak orang di bawah. Ia merasa lebih tenar dan bersinar, sehingga memudurkan lampu orang.
Pandangannya, pandangan sebelah mata. Karena satu mata telah ia titipkan di atas tapak kakinya untuk menginjak.
Dan....
Dunia beremosional kepentingan. Nuklis perbuatannya, bukan keikhlasan. Tapi adalah pertanyaan yang beralas " untuk apa".
Hidupnya, sarat dengan kajian logika. Tak ada hati di sana. Tak pula ada "rasa".
Hidupnya bukan kajian kepadaNya.Ia terjebak pada hitungan angka angka, bukan makna.
Jangan tanya soal pengorbanan, apalagi keikhlasan. Ia bertuan pada " kepentingan" bukan kesetiaan.
Kesetiaan baginya adalah pengkhianatan.
Makin ke ujung dunia, makin langka pengorbanan.
Tidakkah kita menyadari bahwa sebenarnya paru paru dunia itu bukan hutan belantara, tapi adalah "pengorbanan" yang tumbuh subur di hati.
Tumbuhkanlah " pengorbanan" atas namaNya, maka niscayalah dunia akan damai, teduh dan kembali rimbun.
Konklusinya, yang membuat dunia gaduh dan celaka adalah ketika semangat pengorbanan lenyap selenyap lenyapnya di ruang hati anak zaman!
Bila begitu, kuucapkan :
Selamat Hari Raya Idul Adha 10 Zulhijah 1445 H.
Minal Aidzin Walfaidzin. Mohon maaf lahir dan bathin.
Jakarta 16 Juni 2024.