-->
  • Jelajahi

    Copyright © MANDALIKANews.ID | BAROMETER INDONESIA
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Latest News

    Kepenyairan Pinto Janir Terbilang Langka/ Oleh DR Agus Taher

    MandalikaNews.id
    Minggu, 02 Februari 2025, 22:55 WIB Last Updated 2025-02-05T11:08:43Z

     

    Oleh: DR Agus Taher (sastrawan & musisi) 


    Papa dan mamanya , sepertinya sudah menyiapkan Pinto menjadi sosok yang tak biasa. Sebab, ketika dia lahir, nama-nama yang umum dipakai di Padang kampung halamannya  itu, Syamsudin, Jalius, Djamal, Ma’ruf dan lainnya.


     Sementara Pak Janir menyematkan nama yang agak aneh di kuping, Frihed Dapinta . Mirip nama asing. Barangkali nama ini, satu-satunya nama penduduk Indonesia. Tak ada aroma minangnya. Padahal, ia asli orang Minangkabau. Papanya, Tiku bersuku Tanjung.Ibunya Alai Gunungpangilun, bersuku Sikumbang. 


                  Pinto Janir 


    Bersumber dari google, saya baca ,saat belia, ketika menjadi wartawan cilik di Harian Semangat Padang ---salah seorang wartawan senior yang jadi redaktur di koran milik Angkatan Bersenjata tersebut---Roesli Syahruddin memberi nama Pinto Janir kepada Frihed Dapinta . 


    Itu terjadi, ketika Pinto masih menduduki bangku kelas satu SMP. Memang sejak SMP Pinto sudah mulai menulis. Tapi, ia memulai bukan dari puisi, justru dari berita olahraga yang ia liput dari pertandingan tenis meja antar kampung di Gunung Pangilun Padang.


    Sampai tamat SMA, Pinto terus menulis berita di Harian Semangat yang pernah dipimpin oleh sastrawan AA.Navis itu. 



    Tamat SMA Inyiak Nasrul Sidik—salah seorang tokoh Pers Nasional--- yang juga  pendiri Harian Singgalang , mendirikan Surat Kabar Mingguan Canang.


    Pinto salah seorang wartawan muda yang direkrut Inyik Nasrul Siddik untuk bergabung di Mingguan Canang. Waktu itu usianya belum genap 20 tahun. Ia sudah diangkat Inyik Nasrul Siddik menjadi Redaktur di Mingguan ini. 


    Di antara jajaran redaksi Mingguan Canang, Pinto adalah redaktur paling muda usianya. Redaktur lainnya adalah Harris Effendi Thahar (kini professor sastra Indonesia) , Alwi Karmena (sastrawan/budayawan), Jayusdi Effendi (tokoh wartawan Sumbar) dan Edi Pranata PNP (sastrawan & penyair). Mingguan Canang pada masa itu adalah surat kabar mingguan yang beroplah besar di antero Sumatera Tengah. 


    Sejak saat itu nama Pinto Janir makin melekat di pembaca Canang, karena Pinto –selain memburu berita---juga aktif menulis cerita bersambung, cerpen dan puisi  yang digemari anak muda di masa itu.  


    Maka nama Pinto pun ambigu juga. Nama Jawa beraroma Minang. Meskipun demikian, nama pemberian alm Roesli Syahridin ini  ternyata membawa berkah buat figur yang “lasak” dalam bermimpi dan bercitacita ini. 


    Mulai wartawan, pembuat taman, melukis, penyair, hingga pencipta lagu dan penyanyi dirambahnya, termasuk membesarkan bisnis kuliner miliknya, Labrazzo resto dan coffee.


              Chairil Anwar


          Pinto Janir


    PINTO PENGGILA 

    CHARIL ANWARKAH? 


    Sekitar tahun 2006, saya dihadiahi Pinto buku Seratus Sajak Pinto Janir yang berjudul “Rakyat Susah,Susah Benar Jadi Rakyat”.  


    Puisinya panjang-panjang, banyak sekali yang lebih panjang dari puisi terpanjang Chairil Anwar: Kerawang Bekasi. Malah puisinya Si Padang, panjangnya 4.5 halaman. Lebih separoh puisinya pun ber-aroma garang. Semacam pemberontakan pikiran, senapas dan mirip dengan puisi paling terkenal Chairil Anwar, berjudul Aku. 


    Di keseharian Pinto Janir yang ramah, pandai berkawan, banyak senyum dan suka bercanda ini, ternyata batinnya mudah membara dengan carut-marutnya perjalanan politik Indonesia. Ia kritis menyikapi persoalan politik, sosial dan budaya. 

    Dalam puisinya yang bertajuk Gila pun Membudaya , di bagian akhir puisinya tertulis:

    /makin gila makin laku/makin gila makin ditiru/Woow/

    Tanggung-tangung gila/Kita bikin sajalah partai orang gila/


    Sejak memamah puisi-puisinya dalam Seratus Sajak Pinto Janir itulah, saya rajin mencermati perjalanan karir wartawan yang penyair ini. Bahkan, menurut (alm) Alwi Karmena sastrawan dan penyair ranah Minang, “ Pinto itu, begitu ia terbangun dari tidurnya, ia sudah menjadi seniman. Aura senimannya kental sekali “. 


    Soal kesenimanan Pinto , saya sepakat dengan Alwi Karmena.  Sebab, sepak terjangnya tak biasa, menggelitik untuk diikuti. 


    Akhirnya, saya pun menyimpulkan bahwa Pinto ini mungkin saja pengagum berat Chairil Anwar. Foto-fotonya yang menyebar di medsos selalu ber-ikon Chairil Anwar dan Asap rokok. Foto Chairil merokok hanya satu gaya.Sementara Pinto “multi gaya", karena akting Pinto, posisi selipan rokok dan gulungan asapnya berbeda-beda.


    Barangkali ada filosofi alam takambang jadi guru yang disimak Pinto dalam fenomena "rokok dan gulungan asap" itu. Gulungan asap pun abstrak dan multi makna. Boleh jadi, itulah karakter bung Frihed Dapinta  ini. Bagi saya, filosofi "gulungan asap" itu adalah sebuah abstraksi tentang keindahan dan kenikmatan, serta pelarian termurah merintang kekecewaan, barangkali juga pernak-pernik kehidupan. Sebab, seringkali kenikmatan dan keindahan itu hanya sebentar dekat menemani kita, sebentar lagi menjauh-menghilang meninggalkan kita, meskipun "bau nya" begitu lama hilang.


    Barangkali, itu alasannya dalam puisinya berjudul Aku Emas Adinda Perak

    ternukil narasi: /seorang Penyesal adalah seorang yang takut menyapa kenyataan/ /kutak mau menjadi penyesal, apalagi jadi tukang caci diri sendiri?


    Pinto, karena belajar banyak dari filosofi “asap bergulung” mampu menjadi seseorang “yang tak penyesal”. Buat apa murung ? Untung atau buntung itu adalah sebuah keniscayaan. Itu sebabnya, selama saya mengenal Pinto, ia selalu menampakan diri sebagai sosok yang selalu riang dan pagarah. Kadang-kadang

    , pancimeeh juga!


    CHAIRIL ANWAR DAN PINTO JANIR 


    Apa Iya, Kepenyairan Pinto itu Langka ?

    Jawabannya pasti iya !


    Kelangkaan Pinto  wartawan kharismatik ini dapat disimak dari kehebatannya sebagai penyair dengan larik puisi yang keren. Sebagai seorang seorang jurnalis, tentu saja kepiawaian Pinto dalam dunia jurnalistik tak usah diragukan lagi. 


    Ia sudah berpengalaman memimpin dan mendirikan beberapa surat kabar. Di tangan Pinto, surat kabar yang ia pimpin pasti memiliki daya tarik isu dan berita dalam gaya bahasa khas Pinto. Ia kental dalam jurnalisme sastra! 


    Sementara posisi Pinto  sebagai deklamator sulit tandingannya, karena Pinto mengusung genre baru dalam perpuisian. Ia memadukan puisi dengan musik secara spontan –seperti membentuk lagu-lagu baru yang tak mungkin bisa ia ulang-ulang kembali . Itu ajaibnya. Itu yang menjadi pembeda Pinto dengan penyair lain di Indonesia. 


    Bagi saya, kerennya puisi Pinto ini karena disamping diksi di larik puisinya yang cermat dan puitik, juga diperkuat oleh narasinya yang abstraksinya yang tak berlebihan. 


    Pesan puisinya jelas. Tidak  terlalu multi tafsir. Puisinya tak memaksa orang mengernyitkan kening untuk menafsirkan apa makna puisinya itu.


     Filosofinya, jangan paksa orang "berpikir" untuk menikmati karya anda, akan tetapi "mudahkan" mereka "merasakan" pesan apa yang hendak Anda sampaikan, agar jangan Anda saja yang faham, sementara pembaca anda bingung atau sok-sok paham. 


    Kata Pinto, puisi itu bilik rasa.Bukan bilik mengada-ada atau dihajan-hajankan. Puisi itu, cara rasa bermedia kata menitipkan pesan dengan menangkap suasana dan nuansa . Maqomnya, kecerdasan dan ketinggian rasa. Pinto pernah berkata kepada saya; “ Puisi itu sesungguhnya adalah filsafat”. 



    Agaknya Pinto tak sepaham benar dengan pendapat umum, bahwa semakin abstrak sebuah puisi, semakin berbobot nilainya. Pinto mengerti bahwa puisi itu adalah sebuah produk nalar dan intuisi, di mana si penulis menitipkan pesan dalam sebuah karyanya, apakah itu novel atau cerpen. Bahkan, dalam lagu dant ari sekalipun!


     Karya yang baik itu bukan hanya ditentukan oleh indahnya diksi, akan tetapi dari karya yang narasinya mampu menyampaikan pesan.

    Bukan itu saja !

    Pinto Janir pun sepertinya selalu berusaha mengemas beberapa diksinya dengan kata-kata beraroma filsafat, seperti “sumur tanpa mata air, adalah airmata bagi penimba” atau “bila mimpi adalah sinyal, maka impian itu harapan“ atau “ rindu pada kekasih taka da salahnya yang salah adalah merindukan kekasih yang sebenarnya tak pernah ada “. 

    Diksi Pinto memang diksi “gila”. 

    Meskipun demikian diksinya juga terasa indah dan menyentuh, seperti “jangan ajari aku melayari hatimu yang koyak dihoyak ragu”, termasuk judul puisinya pun sudah memukau “Usah Berenang di Danau Airmatamu Sendiri” .


    Bahkan puisi-puisinya juga sangar, seperti dalam untaian larik: /keparat berlagak malaikat/ rakyat dibujuk-bujuk lalu disikat/.... /ini rakyat bung, bukan ketupat/



    Dan, yang paling saya suka, Pinto amat sering menyelipkan bahasa Minang dalam puisinya. Seperti /Bukan salah kapak merarak/ Pangana tak selurus benak/ Tengak jua tapak diarak/. 


    Jadi, Pinto pun berusaha memperkaya khasanah bahasa Indonesia dengan bahasa Minang. Seperti yang saya sebut sebelumnya, bahwa Pinto itu bagaikan “Two in One”: Penyair beken berkulindan dengan Deklamator keren.



     Nah, dalam dunia musik, Pinto sepertinya serupa Ebiet G, Ade  yang ciptaannya Camelia begitu indah. Seindah Ebiet menyanyikannya  atau semisal Yon Koeswoyo yang lagunya Why Do You Love Me sama-sama memukau ketika Yon sendiri yang menembangkannya. Perumpamaannya sama juga dengan karya-karya Michael Jackson yang Dia nyanyikan sendiri atau Stevie Wonder menyanyikan karyanya I just call to say I love You. 



    Lagunya hebat, dendangan Stevie pun yahud. Begitu juga, Pinto dan puisinya.Pinto dan narasinya !



    IMLF PNAGGUNG PENOBATAN RAJA PENYAIR PINTO JANIR ?

    IMLF Panggung Penobatan Raja Penyair Pinto Janir ? Saya juga jadi bertanya sendiri, betapa mengemukanya Pinto Janir di gelanggang IMLF itu, sehingga memancing para seniman luar negeri untuk berbicara tentang Pinto Janir. Apalagi, sekelas Carlos Aguasaco, Ph.D seorang professor sastra (puisi) dari Amerika, sampai terpancing membicarakan Pinto Janir. 



    Tampaknya Iven International Minangkabau Literacy Festival (IMLF) kedua tahun 2024 itu betul-betul dipersiapkan Sastry Bakri secara maksimal. Tidak saja dari sisi acara yang variatif dan kredibilitas peserta yang diundang, akan tetapi juga ragam institansi Daerah dan Pusat yang dilibatkannya, sesuatu yang amat tak mudah. Dalam soal konseptor dan iven organizer, Satry yang energik ini memang jagoannya, karena networknya yang amat luas.


    Dan, Pinto Janir pun ternyata jagoan juga !

    Panggung IMLF juga diposisikannya sebagai locus strategis untuk memperkokoh reputasinya di dunia kepenyairannya. Tidak hanya puisi keren yang dipersiapkannya, akan tetapi stage act dan kolaborasinya dengan pemusik saya yakini dimatangkannya sedemikian rupa. Belakangan saya baru tahu, ternyata Pinto tak siap-siap amat, pengiring musiknya bukan disiapkan. Malah, hasil “comotan” spontan Pinto Janir.  Aduh, sekali lagi saya kaget !



    Pinto yang sejak 2022 lalu menetap di Jakarta ini betul-betul unjuk kebolehan dan ingin “menghajan tuah” dan Pinto sukses. Komentar dan kekaguman peserta luar Sumbar dan Luar Negeri pun menggelegar mengapresiasi tampilan putra Gunung Pangilun ini di panggung IMLF. 



    Seakan, era baru dalam dunia kepenyairan hadir dari tampilan Pinto. Kalau selama ini, sebutan Pinto Raja Penyair masih sayup-sayup terdengar, maka panggung IMLF menjadi saksi sejarah dalam penobatan Pinto Janir sebagai Raja Penyair, meskipun tanpa secarik pun kertas penghargaan. Buat apa Piagam, karena kehebatan seorang Hamid Jabar, Sutarji, Taufik Ismail, Gus Mus dan Rendra pun tanpa diusung Piagam.

             Prof Carlos Aquasaco terkesan                   dengan Pinto


    Penampilan Pinto Janir di iven IMLF-II tahun 2024 itu  coba simak video yang memuat testimoni DR. Carlos Aguasaco, Professor and Chair Departement of Interdisciplinary Arts and Sciences, The City College of New York. Katanya, “saya terkesan dengan kehebatan Pinto yang mampu membangun hubungan yang amat kuat antara puisi dengan musik, serta tampilannya yang dinamis”. 



    Sementara Mr. Carlos Velasquez Torres, dari Columbia, bilang: Pinto Janeer is well, is good, good.

    Dan, yang juga menarik adalah komentar seorang penulis, penyair dan politisi asal Kalimantan, Swari Utami, bahwa ada yang unik dari Pinto Janir, karena Pinto dianggap mampu memadukan puisi dan musik, serta diperkuat dengan penjiwaan. Pesan yang diusung Pinto adalah ia menghadirkan sesuatu yang baru, semacam Puisi Musik. Pendapat ini lebih dipertegas oleh Profesor puisi, DR. Carlos Aguasaco, bahwa Pinto menawarkan konsep baru dalam puisi, yang disebutnya sebagai Pertunjukan Puisi.



    Swari Utami Dewi Prof. Carlos Aguasacco, PhD.







    Bagi saya, konsep pertunjukan puisi ini lebih penting dimaknai. Saya masih ingat komentar Bung Alwi Karmena sekitar 15 tahun yang lalu. Wartawan yang budayawan ini bilang: Lagu pak Agus ribuan orang yang mendengar, bisa dinikmati berbagai kalangan. Panggung puisi saya hanya disaksikan dan didengar kawan-kawan dekat saya sesama penyair, yang jumlahnya juga amat terbatas.



    Dalam konteks komentar jujur Bung Alwi inilah konsep Pertunjukan Puisi ini menjadi sangat strategis. Saya tak sependapat dengan pendapat DR. Carlos bahwa “pertunjukan puisi” itu sulit dilakukan. Sebab, saya tak yakin bahwa hanya Pinto Janir saja yang mampu menghadirkan puisi keren-pembacaannya beken-penjiwaannya hebat-penguasan panggung pun dahsyad, kemudian berkolaborasi dengan musik. Pasti banyak yang bisa. Dr. Andrea C. Thamsin juga sempurna tampilannya dalam baca puisi berjudul Komputer Teler.


    Paling tidak penyair Sumbar harus berani mencoba sesuatu yang baru, agar iven baca puisi tidak hanya dalam bentuk “panggung seremonial” dalam memperingati apalah namanya. Yang baca puisi sebagian penyair, sebagian lagi pejabat dan elit, mendeklamasikannya hanya “baca” saja tanpa penjiwaan dengan secarik kertas atau HP ditangan yang sedikit bergetar, meskipun digelar di panggung yang mewah. 



    Panggung seperti ini mana mungkin ditonton oleh kalangan yang lebih luas. Nah, kapan lagi panggung pertunjukan puisi ditonton khalayak, seperti orang menonton panggung musik ? Kapan lagi, panggung pusi

    bernilai ekonomi ?



    Dan, sulitnya pun tak banyak !

    Menghafal puisi yang kebanyakan sepanjang lirik lagu mestinya tak sulit, sehingga pakem kertas dan HP ditangan sang deklamator berangsur-angsur hilang dari peredaran. Saya, ketika mengawal dubbing vokal di studio saya, selalu menyuruh pulang penyanyi yang tak hafal lagu. Tak peduli, apakah Dia itu,

    Zalmon, Anroys, Ody Malik ataupun Dessy Santhia dan lainnya. 



    Sebab, mana mungkin dia bisa menjiwai lagu kalau dia tak hafal lagu.

    Mirip dengan iven baca puisi, mana mungkin si penyair bisa menjiwai dan tampilan panggungnya bagus, kalau puisi tak dihafalnya. Roh sebuah pertunjukan adalah puisi atau lagunya keren, ditampilkan dengan penuh penjiwaan dan stage act yang prima, serta didukung oleh alat bantu hebat, seperti musik, sound system, tata lampu dan lainnya.



    Nah, mari pikirkan implementasi konsep pertunjukan puisi ini. Tak seganas

    Pinto Janir pun tak apalah, elaborasi cara yang lain. Selamat menginspirasi Bung

    Raja Penyair , Pinto Janir ! 


    (***)


    Tentang Penulis : 


    Dr. Ir. Agusli Taher, MS , lahir 9 Agustus 1951.  Ia pencipta lagu pop Minang dan ahli pertanian. Ia merupakan pendiri perusahaan rekaman Pitunang Record yang banyak mengorbitkan penyanyi Minang di Sumatera Barat. Ia merupakan pencipta lagu yang telah menggubah sedikitnya 470 lagu dan sampai saat ini ia masih tetap menciptakan lagu. Agus juga penuis novel dan beberapa buku beraoma ilmiah. Agusli juga seorang ahli pertanian bergelar doktor. Berkecimpung di dunia kesenian tak lantas membuat Agusli mengabaikan dunia pertanian. Ia pernah bekerja sebagai peneliti pertanian untuk Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukarami, yang sejak 1995 berubah nama menjadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Sumatera Barat. Pada 2016, Agusli menerbitkan buku kumpulan biografi Perjalanan Panjang Musik Minang.  Agusli menempuh pendidikan S1 di Fakultas Pertanian Universitas Andalas (UNAND). Ia  melanjutkan S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan S3 di University of the Philippines Los Baños (UPLB) Filipina. Dengan latar belakang keahliannya di bidang pertanian, disertasi Agusli meraih penghargaan sebagai The Best Disertation Award dari UPBL Filipina. Sebagai peneliti pertanian, Agusli bekerja di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Sumatera Barat dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia menjadi Kepala BPTP Sumbar yang pertama. Di pengujung karienya, ia bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Sumbar dan memperoleh Satyalencana Wirakarya dari Presiden Soeharto pada tahun 1995 sebagai peneliti berprestasi di bidang lahan gambut.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini